Sejarah singkat perkembangan kesehatan kerja di dunia dan di Indonesia
Sejarah singkat kesehatan kerja di dunia
Pada mulanya, kesehatan kerja berkembang dari kesadaran bahwa bekerja dapat menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit akibat kerja yang memerlukan upaya pencegahan. Pada jaman prasejarah, orang Mesir telah mengenal manfaat cadar bagi perlindungan respirasi saat menambang cinabar (red mercury oxide); di Arabia ada catatan tentang efek sinar matahari pada pekerja di tambang raja Solomon. Pada abad pertengahan sebelum abad ke-19, Georgius Agricola (1494-1555) dari Bohemia menemukan pekerja tambang dengan gejala silikosis. Untuk mencegah penyakit tersebut, Dia menganjurkan tentang pentingnya kebersihan udara di lingkungan kerja, dan menulis buku Of Things Metallic; Theophrastus Bombastus van Hohenheim Paracelsus (1493-1541) dari Austria, menyadari hubungan dosis-respons antara kejadian penyakit pada pekerja pengecoran logam dan beratnya penyakit. Hal tersebut telah menjadi dasar perkembangan disiplin ilmu toksikologi. Bernardino Ramazini (1633-1714), seorang professor di Modena, menulis buku yang berjudul A Diatribe on Diseases of Workers yang membahas penyakit yang terdapat di kalangan pekerja. Kepada para dokter ia menekankan agar selalu bertanya kepada pasien tentang pekerjaan mereka. Dia dikenal sebagai ‘Bapak Kesehatan Kerja’ karena prestasi dan jasanya dalam pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan kerja. Pada jaman revolusi industri, Percivall Pott (1766) menyatakan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan, yaitu kanker skrotum yang banyak ditemukan pada pembersih cerobong asap batubara. Sekarang diketahui bahwa penyebabnya adalah senyawa PAHs/polinuklear aromatik hidrokarbon yang terdapat dalam jelaga cerobong.
Banyak upaya kesehatan kerja yang telah dirintis dan tercatat dalam sejarah. Di Eropa, pada abad ke-19, Anthony Ashley Cooper, 7thEarl of Shaftesbury (1801-1885) menurunkan jam kerja dan meningkatkan kondisi kerja bagi pekerja anak dan wanita di tambang, pabrik dan di tempat kerja lainnya; Dr. Thomas Percival (1740-1804) melaporkan tentang pekerja anak di pabrik tekstil; Robert Owen (1771-1858) memberlakukan kondisi kerja yang baik di pabrik tekstilnya. Legislasi di pabrik dimulai oleh Sir Robert Peel Sr. (17881850); tercatat pula Sadler (1780-1835) yang mendukung perubahan pada parlemen. Dr Thomas Legge (1863-1932) adalah inspektor pabrik yang pertama di Inggris dan penulis buku Industrial Maladies (1934). Beberapa nama yang juga tercatat banyak berperan di bidang kesehatan kerja di negeri mereka antara lain Erisman (1842-1915) di Rusia; dan Hamilton (1869-1970) di Amerika yang banyak meneliti tentang keracunan timah hitam.
Bersamaan dengan perkembangan modernisasi dan industri secara pesat, terjadi perubahan pola penyakit pada populasi umum dan populasi pekerja. Perubahan tersebut terjadi dari penyakit-penyakit infeksi menjadi penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup tidak sehat, terutama adalah penyakit pembuluh darah (mis. penyakit jantung koroner dan stroke), keganasan, penyakit metabolisme dan penyakit degeneratif otot dan tulang rangka. Beberapa “penyakit modern” yang berhubungan sangat erat dengan gaya hidup tidak sehat tersebut banyak menyerang pekerja, terutama yang bekerja di perkantoran yang kurang aktivitas fisik. Dengan demikian, selain kecelakaan dan penyakit terkait kerja yang menimbulkan kerugian dan menurunkan produktivitas, ternyata penyakit kardiovaskular juga menimbulkan kerugian yang jauh melampaui kerugian yang ditimbulkan oleh KAK/PAK. Gabungan tersebut diperkirakan telah menyebabkan kerugian sebesar 20% GDP global. Di Indonesia, Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 menemukan bahwa penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (24,5%), lebih tinggi daripada penyakit infeksi (22,5%).
Hal serupa ditemukan pula pada populasi pekerja di beberapa perusahaan besar seperti di Pertamina dan PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk.7,8Oleh sebab itu, pada dekade terakhir ini, upaya kesehatan kerja selain berupaya melindungi pekerja agar tidak mengalami KAK dan PAK, juga melakukan upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan pekerja dan kapasitas kerja dengan melakukan promosi kesehatan terutama perilaku hidup.
Batasan “sehat” yang menjadi tujuan Kesehatan Kerja, bukan saja sehat secara fisik, mental dan sosial sesuai yang didefinisikan WHO pada tahun 1948, tetapi juga sehat secara spiritual sesuai definisi yang disempurnakan WHO pada tahun 1984 dan diamanatkan oleh WHA (Wealth Health Assembly) tahun 1999. Definisi tentang kesehatan yang tidak jauh berbeda juga tercantum dalam Undang-undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
—— UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 1 ayat 1.
Upaya kesehatan yang mengutamakan upaya kuratif dalam jangka panjang bersifat konsumtif tidak produktif. Dari segi ekonomi, upaya investasi pada orang yang ‘tidak atau belum sakit’ lebih cost-effective daripada terhadap orang sakit. Paradigma “sehat” yang dicanangkan Departemen Kesehatan RI pada tahun 1998, lebih menekankan upaya promotif-preventif daripada upaya kuratif-rehabilitatif. Prinsip dan paradigma ini berlaku pula pada upaya kesehatan kerja.
Sejarah Kesehatan Kerja di Indonesia
Dengan memperhatikan keadaan hukum kerja di zaman prakemerdekaan, tentunya dapat diperkirakan bagaimana riwayat kesehatan kerja ini. Perbudakan, perhambaan, rodi, dan poenale sanksi yang mewarnai hubungan kerja di zaman itu menunjukkan pula kurangnya perhatian pemerintah Hindia Belanda akan kesehatan kerja. Hal yang dicari pada saat itu adalah pengeksplotasian tenaga kerja secara penuh demi kepentingan pihak penjajah, sedangkan kepentingan tenaga kerja tidak diperhatikan sama sekali.
Zaman Perbudakan
Zaman perbudakan ini secara legistis yaitu menurut peraturan perundangan dinyatakan berakhir pada tanggal 31 Desember 1921. Jika dibandingkan dengan Negara lain, berkat aturan adat yang dijiwai oleh kepribadian bangsa, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab para budak agak lumayan kedudukannya.
Regerings Reglement (RR) tahun 1818 (semacam Undang-undang Dasar Hindia Belanda) pada pasal 115 memerintahkan supaya diadakan peraturan perturan mengenai perlakuan terhadap keluarga budak. Peraturan pelaksananya dimuat dalam Staatsblad 1825 No.44 ditetapkan bahwa :
- Harus dijaga agar anggota-anggota keluarga budak bertempat tinggal bersama-sama, maksudnya seorang budak yang telah berkeluarga tidak boleh dipisahkan dari istri dan anaknya.
- Para pemilik diwajibkan bertindak baik terhadap para budak mereka.
- Penganiayaan seorang budak diancam dengan pidana berupa denda antara Rp.10,00 dan Rp.500,00 dan pidana lain yang dijatuhkan oleh pengadilan untuk penganiayaan biasa.
Usaha dari pihak tidak resmi seperti dari “Javaans Menschlievend Genootschaap” yaitu nama baru bagi “Java Benevolent Institution” dari zaman pemerintahan Thomas Stamford Raffles antara tahun 1818 dan 1824 mencoba untuk menghapuskan perbudakan tetapi tidak membawa hasil. Terjadi pertentangan pendapat yang menyatakan bahwa penghapusan budak merupakan pelanggaran besar terhadap hak para pemilik budak dan disisi lain berpendapat bahwa kezaliman lebih besar apabila merendahkan manusia menjadi barang milik.
Baru pada tahun 1854 dalam Regeringsreglement 1854 pasal 115 sampai 117 kemudian menjadi pasal-pasal 169 sampai 171 Indische Staatsregeling 1926, dengan tegas ditetapkan penghapusan perbudakan. Pasal 115 menetapkan paling lambat 1 Januari 1860 perbudakan di seluruh Indonesia dihapuskan dan selnjutnya memerintahkan supaya diadakan peraturan-peraturan persiapan dan pelaksanaan tentang penghapusan dan ganti rugi sebagai akibat penghapusan.
Zaman Rodi
Zaman rodi atau kerja paksa ini berlaku bersamaan dengan zaman perbudakan dan berakhir resminya di Jawa dan Madura pada tanggal 1 Februari 1938, kecuali di tanah partikelir yang baru dihapuskan pada tahun 1946 oleh Coamacab (Commando Officer Allied Military Administration, Civil Affairs Branch) dalam Noodverordening Particuliere Landrijen 1946 Java en Madura.
Kesehatan kerja bagi pekerja rodi lebih diperuntukkan pada kekhawatiran kehabisan jumlah pekerja paksa, bukan karena prikemanusiaan. Kesehatan kerja pada bidang rodi ini lebih terletak pada pembatasan jam kerja. Misalnya hanya boleh sehari seminggu dan paling banyak 52 hari dalam setahun dan seharinya tidak boleh lebih dari 12 jam kerja rodi. Jarak antara rumah dan tempat kerja juga diperhatikan. Tetapi hal ini pun dilanggar oleh pihak yang berkepentingan karena kurangnya pengawasan. Penghapusan rodi dilakukan dengan membayar uang pembebasan atau tebusan kepada Pemerintah dan bersamaan dengan itu gaji pegawai dinaikkan dengan uang pembebasan itu.
Poenale Sanksi
Zaman poenale sanksi meliputi antara tahun 1872 dan 1879 serta antara masa 1880 dan 1941, berakhir pada tanggal 1 Januari 1942. Kedudukan buruh/pekerja dalam hubungannya dengan majikan ditetapkan sebagai berikut :
- Buruh tidak boleh meninggalkan perusahaan, tanpa izin tertulis dari pengusaha, administrasi atau pegawai yang diberi wewenang untuk itu. Apabila hal itu tetap dilakukan maka buruh dikenai tindak pidana yang disebut melarikan diri. Hukuman untuk itu adalah denda atau kerja dengan makan tanpa upah, biasanya disebut “krakal” selama-lamanya 1 bulan.
- Buruh wajib secara teratur melakukan pekerjaannya.
- Jika buruh meninggalkan perusahaan, ia wajib selalu membawa dan atas permintaan yang berwajib memperhatikan kartu keterangan yang memuat identitas buruh dan lamanya hubungan kerja.
- Jika buruh dalam masa hubungan kerja diadili atau menjalani pidana, maka sesudahnya atas biaya perusahaan ia dapat di bawa kembali ke perusahaan. Demikian pula jika buruh setelah menjalani istirahat, sakit dan sebagainya jika tidak kembali lagi ke perusahaan maka dapat dipanggil kembali.
- Dilarang memberi pemondokan kepada seorang buruh yang tidak dapat membuktikan kebebasannya dari kewajiban bekerja.
- Dalam keadaan bagaimanapun, buruh tidak dapat memutuskan hubungan kerjanya secara sepihak. Dalam lembaga poenale sanksi yang menyerahkan pribadi buruh sepenuhnya kepada wewenang perusahaan / majikan tidak dapat diharapkan adanya perlindungan buruh. Satu-satunya jalan untuk memberikan perlindungan bagi buruh itu pada kedudukan manusia social adalah penghapusan poenale sanksi yang terjadi pada tangga 1 Januari 1942.
Zaman Modern
Kesehatan kerja di Indonesia dimulai pada dasawarsa ketiga abad XX. Kesehatan kerja pertama kali diatur dalam :
- Maatregelen ter Beperking van de Kindearrbied en de Nachtarbeid van de Vroewen, yang biasanya disingkat Maatregelen, yaitu peraturan tentang pembatsan pekerjaan anak dan wanita pada malam hari, yang dikeluarkan dengan Ordonantie No. 647 Tahun 1925, mulai berlaku tanggal 1 Maret 1926.
- Bepalingen Betreffende de Arbeit van Kinderen en Jeugdige Persoonen ann Boord van Scepen, biasanya disingkat ‘Bepalingen Betreffende’, yaitu peraturan tentang pekerjaan anak dan orang muda di kapal, yang diberlakukan dengan Ordonantie No. 87 tahun 1926, mulai berlaku 1 Mei 1926.
Selain Maatregelen dan Bepalingen Betreffende, peraturan lain yang dikwalifikasi sebagai peraturan kesehatan kerja, yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda adalah :
- Mijn Politie Reglement, Stb No. 341 tahun 1931 (peraturan tentang pengawasan di tambang).
- Voorschriften omtrent de dienst en rushtijden van bestuur der an motorrijtuigen (tentang waktu kerja dan waktu mengaso bagi pengemudi kendaraan bermotor).
- Riauw Panglongregeling (tentang panglong di Riau)
- Panglongkeur Soematra Oostkust (tentang panglong di Sumatera Timur).
- Aanvullende Plantersregeling (peraturan perburuhan di perusahaan perkebunan).
- Arbeidsregeling nijverheidsberijvn (peraturan perburuhan di perusahaan perindustrian).
Di Indonesia secara historis peraturan keselamatan dan kesehatan kerja telah ada sejak pemerintahan Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan dan diberlakukannya Undang-undang Dasar 1945, maka beberapa peraturan termasuk peraturan keselamatan kerja yang pada saat itu berlaku yaitu Veiligheids Reglement telah dicabut dan diganti dengan Undang-undang Keselamatan Kerja No.1 Tahun 1970.
Setelah kemerdekaan pula yang pertama-tama menjadi perhatian pemerintah adalah masalah kesehatan kerja. Sewaktu Indonesia masih berbentuk serikat beribukota di Yogyakarta pada tanggal 20 April 1948 mengundangkan Undang-undang No.12 Tahun 1948 tentang kerja. Setelah Indonesia berbentuk Negara kesatuan UU No.12 tahun 1948 ini di berlakukan ke seluruh wilayah Indonesia dengan UU No.2 Tahun 1951.
Undang-undang pokok kerja ini memuat aturan dasar mengenai :
- Pekerjaan anak
- Pekerjaan orang muda
- Pekerjaan wanita
- Waktu kerja, istirahat, dan mengaso
- Tempat kerja dan perumahan buruh, untuk semua pekerjaan tidak membeda - bedakan tempatnya, misalnya di bengkel, di pabrik, di rumah sakit, di perusahaan pertanian, perhubungan, pertambangan, dan lain-lain.
Undang-undang No.12 Tahun 1948 merupakan undang-undang pokok sehingga memerlukan peraturan pelaksana yang lebih rinci. Mengingat keadaaan Indonesia yang masih di awal kemerdekaan, maka peraturan pelaksana dibuat secara bertahap. Peraturan pelaksana yang sempat dikeluarkan pada masa itu adalah :
Peraturan pemerintah No.3 Tahun 1950 yang memberlakukan aturan waktu kerja, istirahat, dan mengaso serta mengatur tata cara pengusaha untuk dapat mengadakan penyimpangan dari waktu kerja.
Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 1954 yang mengatur tentang berlakunya ketentuan cuti tahunan bagi pekerja/buruh. Berbeda dengan undang-undang pokok lainnya, undang-undang kerja mempunyai ketentuan bahwa semua ketentuan yang ada hanya akan berlaku jika ada peraturan pelaksananya.
Sampai saat undang-undang kerja dicabut dan digantikan dengan Undng-undang No.13 Tahun 2003, peraturan pelaksana yang baru keluar hanya kedua peraturan tersebut. Maka hanya kedua aturan undang undang kerja itu yang sempat berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar