Minggu, 15 Februari 2015

sejarah singkat perkembangan kesehatan kerja di dunia dan di Indonesia

Sejarah singkat perkembangan kesehatan kerja di dunia dan di Indonesia

Sejarah singkat kesehatan kerja di dunia

Pada mulanya, kesehatan kerja berkembang dari kesadaran bahwa bekerja dapat menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit akibat kerja yang memerlukan  upaya pencegahan. Pada jaman prasejarah, orang Mesir telah mengenal manfaat cadar bagi perlindungan respirasi saat menambang cinabar (red mercury oxide); di Arabia ada catatan tentang efek sinar matahari pada pekerja di tambang raja Solomon. Pada abad pertengahan sebelum abad ke-19, Georgius Agricola (1494-1555) dari Bohemia menemukan pekerja tambang dengan gejala silikosis. Untuk mencegah penyakit tersebut, Dia menganjurkan tentang pentingnya kebersihan udara di lingkungan kerja, dan menulis buku Of Things Metallic; Theophrastus Bombastus van Hohenheim Paracelsus (1493-1541) dari Austria, menyadari hubungan dosis-respons antara kejadian penyakit pada pekerja pengecoran logam dan beratnya penyakit. Hal tersebut  telah menjadi dasar perkembangan disiplin ilmu toksikologi. Bernardino Ramazini (1633-1714), seorang professor di Modena, menulis buku yang berjudul A Diatribe on Diseases of Workers yang membahas penyakit yang terdapat di kalangan pekerja. Kepada para dokter ia menekankan agar selalu bertanya kepada pasien tentang pekerjaan mereka. Dia dikenal sebagai ‘Bapak Kesehatan Kerja’ karena prestasi dan jasanya dalam pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan kerja. Pada jaman revolusi industri, Percivall Pott (1766) menyatakan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan, yaitu kanker skrotum yang banyak ditemukan pada pembersih cerobong asap batubara. Sekarang diketahui bahwa penyebabnya adalah senyawa PAHs/polinuklear aromatik hidrokarbon yang terdapat dalam jelaga cerobong.


Banyak upaya kesehatan kerja yang telah dirintis dan tercatat dalam sejarah. Di Eropa, pada abad ke-19, Anthony Ashley Cooper, 7thEarl of Shaftesbury (1801-1885) menurunkan jam kerja dan meningkatkan kondisi kerja bagi pekerja anak dan wanita di tambang, pabrik dan di  tempat kerja lainnya; Dr. Thomas Percival (1740-1804) melaporkan tentang pekerja anak di pabrik tekstil; Robert Owen (1771-1858) memberlakukan kondisi kerja yang baik di pabrik tekstilnya. Legislasi di  pabrik dimulai oleh Sir Robert Peel Sr. (17881850); tercatat pula Sadler (1780-1835) yang mendukung perubahan pada parlemen. Dr Thomas Legge (1863-1932) adalah inspektor pabrik yang pertama di Inggris dan penulis buku Industrial Maladies (1934). Beberapa nama yang juga tercatat banyak berperan di bidang kesehatan kerja di negeri mereka antara lain Erisman (1842-1915) di Rusia; dan Hamilton (1869-1970) di Amerika yang banyak meneliti tentang keracunan timah hitam.


Bersamaan dengan perkembangan modernisasi dan industri secara pesat, terjadi perubahan pola penyakit pada populasi umum dan populasi pekerja. Perubahan tersebut terjadi dari penyakit-penyakit infeksi menjadi penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup tidak sehat, terutama adalah penyakit pembuluh darah (mis. penyakit jantung koroner dan stroke), keganasan, penyakit metabolisme dan penyakit degeneratif otot dan tulang rangka. Beberapa “penyakit modern” yang berhubungan sangat erat dengan gaya hidup tidak sehat tersebut banyak menyerang pekerja, terutama yang bekerja di perkantoran yang kurang aktivitas fisik. Dengan demikian, selain kecelakaan dan penyakit terkait kerja yang menimbulkan kerugian dan menurunkan produktivitas, ternyata penyakit kardiovaskular juga menimbulkan kerugian yang jauh melampaui kerugian yang ditimbulkan oleh KAK/PAK. Gabungan tersebut diperkirakan telah  menyebabkan kerugian sebesar 20% GDP global. Di Indonesia, Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 menemukan bahwa penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (24,5%), lebih tinggi daripada penyakit infeksi (22,5%).


Hal serupa ditemukan pula pada populasi pekerja di beberapa perusahaan besar seperti di Pertamina dan PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk.7,8Oleh sebab itu, pada dekade terakhir ini, upaya kesehatan kerja selain berupaya melindungi pekerja agar tidak mengalami KAK dan PAK, juga melakukan upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan pekerja dan kapasitas kerja dengan melakukan promosi kesehatan terutama perilaku hidup.


Batasan “sehat” yang menjadi tujuan Kesehatan Kerja, bukan saja sehat secara fisik, mental dan sosial sesuai yang didefinisikan WHO pada tahun 1948, tetapi juga sehat secara spiritual sesuai definisi yang disempurnakan WHO pada tahun 1984 dan diamanatkan oleh WHA (Wealth Health Assembly) tahun 1999. Definisi tentang kesehatan yang tidak jauh berbeda juga tercantum dalam Undang-undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.


Kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. 


—— UU No.23 tahun  1992 tentang Kesehatan, Pasal 1 ayat 1. 


Upaya kesehatan yang mengutamakan upaya kuratif dalam jangka panjang bersifat konsumtif tidak produktif. Dari segi ekonomi, upaya investasi pada orang yang ‘tidak atau belum sakit’ lebih cost-effective daripada terhadap orang sakit. Paradigma “sehat” yang dicanangkan Departemen Kesehatan RI pada tahun 1998, lebih menekankan upaya promotif-preventif daripada upaya kuratif-rehabilitatif. Prinsip dan paradigma ini berlaku pula pada upaya kesehatan kerja.


Sejarah Kesehatan Kerja di Indonesia

Dengan memperhatikan keadaan hukum kerja di zaman prakemerdekaan, tentunya dapat diperkirakan bagaimana riwayat kesehatan kerja ini. Perbudakan, perhambaan, rodi, dan poenale sanksi yang mewarnai hubungan kerja di zaman itu menunjukkan pula kurangnya perhatian pemerintah Hindia Belanda akan kesehatan kerja. Hal yang dicari pada saat itu adalah pengeksplotasian tenaga kerja secara penuh demi kepentingan pihak penjajah, sedangkan kepentingan tenaga kerja tidak diperhatikan sama sekali.


Zaman Perbudakan

Zaman perbudakan ini secara legistis yaitu menurut peraturan perundangan dinyatakan berakhir pada tanggal 31 Desember 1921. Jika dibandingkan dengan Negara lain, berkat aturan adat yang dijiwai oleh kepribadian bangsa, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab para budak agak lumayan kedudukannya.


Regerings Reglement (RR) tahun 1818 (semacam Undang-undang Dasar Hindia Belanda) pada pasal 115 memerintahkan supaya diadakan peraturan perturan mengenai perlakuan terhadap keluarga budak. Peraturan pelaksananya dimuat dalam Staatsblad 1825 No.44 ditetapkan bahwa :
  1. Harus dijaga agar anggota-anggota keluarga budak bertempat tinggal bersama-sama, maksudnya seorang budak yang telah berkeluarga tidak boleh dipisahkan dari istri dan anaknya. 
  2. Para pemilik diwajibkan bertindak baik terhadap para budak mereka. 
  3. Penganiayaan seorang budak diancam dengan pidana berupa denda antara Rp.10,00 dan Rp.500,00 dan pidana lain yang dijatuhkan oleh pengadilan untuk penganiayaan biasa. 

Usaha dari pihak tidak resmi seperti dari “Javaans Menschlievend Genootschaap” yaitu nama baru bagi “Java Benevolent Institution” dari zaman pemerintahan Thomas Stamford Raffles antara tahun 1818 dan 1824 mencoba untuk menghapuskan perbudakan tetapi tidak membawa hasil. Terjadi pertentangan pendapat yang menyatakan bahwa penghapusan budak merupakan pelanggaran besar terhadap hak para pemilik budak dan disisi lain berpendapat bahwa kezaliman lebih besar apabila merendahkan manusia menjadi barang milik.


Baru pada tahun 1854 dalam Regeringsreglement 1854 pasal 115 sampai 117 kemudian menjadi pasal-pasal 169 sampai 171 Indische Staatsregeling 1926, dengan tegas ditetapkan penghapusan perbudakan. Pasal 115 menetapkan paling lambat 1 Januari 1860 perbudakan di seluruh Indonesia dihapuskan dan selnjutnya memerintahkan supaya diadakan peraturan-peraturan persiapan dan pelaksanaan tentang penghapusan dan ganti rugi sebagai akibat penghapusan.


Zaman Rodi

Zaman rodi atau kerja paksa ini berlaku bersamaan dengan zaman perbudakan dan berakhir resminya di Jawa dan Madura pada tanggal 1 Februari 1938, kecuali di tanah partikelir yang baru dihapuskan pada tahun 1946 oleh Coamacab (Commando Officer Allied Military Administration, Civil Affairs Branch) dalam Noodverordening Particuliere Landrijen 1946 Java en Madura.

Kesehatan kerja bagi pekerja rodi lebih diperuntukkan pada kekhawatiran kehabisan jumlah pekerja paksa, bukan karena prikemanusiaan. Kesehatan kerja pada bidang rodi ini lebih terletak pada pembatasan jam kerja. Misalnya hanya boleh sehari seminggu dan paling banyak 52 hari dalam setahun dan seharinya tidak boleh lebih dari 12 jam kerja rodi. Jarak antara rumah dan tempat kerja juga diperhatikan. Tetapi hal ini pun dilanggar oleh pihak yang berkepentingan karena kurangnya pengawasan. Penghapusan rodi dilakukan dengan membayar uang pembebasan atau tebusan kepada Pemerintah dan bersamaan dengan itu gaji pegawai dinaikkan dengan uang pembebasan itu.


Poenale Sanksi

Zaman poenale sanksi meliputi antara tahun 1872 dan 1879 serta antara masa 1880 dan 1941, berakhir pada tanggal 1 Januari 1942. Kedudukan buruh/pekerja dalam hubungannya dengan majikan ditetapkan sebagai berikut : 


  1. Buruh tidak boleh meninggalkan perusahaan, tanpa izin tertulis dari pengusaha, administrasi atau pegawai yang diberi wewenang untuk itu. Apabila hal itu tetap dilakukan maka buruh dikenai tindak pidana yang disebut melarikan diri. Hukuman untuk itu adalah denda atau kerja dengan makan tanpa upah, biasanya disebut “krakal” selama-lamanya 1 bulan.
  2. Buruh wajib secara teratur melakukan pekerjaannya.
  3. Jika buruh meninggalkan perusahaan, ia wajib selalu membawa dan atas permintaan yang berwajib memperhatikan kartu keterangan yang memuat identitas buruh dan lamanya hubungan kerja. 
  4. Jika buruh dalam masa hubungan kerja diadili atau menjalani pidana, maka sesudahnya atas biaya perusahaan ia dapat di bawa kembali ke perusahaan. Demikian pula jika buruh setelah menjalani istirahat, sakit dan sebagainya jika tidak kembali lagi ke perusahaan maka dapat dipanggil kembali. 
  5. Dilarang memberi pemondokan kepada seorang buruh yang tidak dapat membuktikan kebebasannya dari kewajiban bekerja. 
  6. Dalam keadaan bagaimanapun, buruh tidak dapat memutuskan hubungan kerjanya secara sepihak.  Dalam lembaga poenale sanksi yang menyerahkan pribadi buruh sepenuhnya kepada wewenang perusahaan / majikan tidak dapat diharapkan adanya perlindungan buruh. Satu-satunya jalan untuk memberikan perlindungan bagi buruh itu pada kedudukan manusia social adalah penghapusan poenale sanksi yang terjadi pada tangga 1 Januari 1942. 


Zaman Modern

Kesehatan kerja di Indonesia dimulai pada dasawarsa ketiga abad XX. Kesehatan kerja pertama kali diatur dalam : 

  1. Maatregelen ter Beperking van de Kindearrbied en de Nachtarbeid van de Vroewen, yang biasanya disingkat Maatregelen, yaitu peraturan tentang pembatsan pekerjaan anak dan wanita pada malam hari, yang dikeluarkan dengan Ordonantie No. 647 Tahun 1925, mulai berlaku tanggal 1 Maret 1926. 
  2. Bepalingen Betreffende de Arbeit van Kinderen en Jeugdige Persoonen ann Boord van Scepen, biasanya disingkat ‘Bepalingen Betreffende’, yaitu peraturan tentang pekerjaan anak dan orang muda di kapal, yang diberlakukan dengan Ordonantie No. 87 tahun 1926, mulai berlaku 1 Mei 1926. 

Selain Maatregelen dan Bepalingen Betreffende, peraturan lain yang dikwalifikasi sebagai peraturan kesehatan kerja, yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda adalah :

  1. Mijn Politie Reglement, Stb No. 341 tahun 1931 (peraturan tentang pengawasan di tambang). 
  2. Voorschriften omtrent de dienst en rushtijden van bestuur der an motorrijtuigen (tentang waktu kerja dan waktu mengaso bagi pengemudi kendaraan bermotor). 
  3. Riauw Panglongregeling (tentang panglong di Riau) 
  4. Panglongkeur Soematra Oostkust (tentang panglong di Sumatera Timur).
  5. Aanvullende Plantersregeling (peraturan perburuhan di perusahaan perkebunan). 
  6. Arbeidsregeling nijverheidsberijvn (peraturan perburuhan di perusahaan perindustrian). 

Di Indonesia secara historis peraturan keselamatan dan kesehatan kerja telah ada sejak pemerintahan Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan dan diberlakukannya Undang-undang Dasar 1945, maka beberapa peraturan termasuk peraturan keselamatan kerja yang pada saat itu berlaku yaitu Veiligheids Reglement telah dicabut dan diganti dengan Undang-undang Keselamatan Kerja No.1 Tahun 1970.


Setelah kemerdekaan pula yang pertama-tama menjadi perhatian pemerintah adalah masalah kesehatan kerja. Sewaktu Indonesia masih berbentuk serikat beribukota di Yogyakarta pada tanggal 20 April 1948 mengundangkan Undang-undang No.12 Tahun 1948 tentang kerja. Setelah Indonesia berbentuk Negara kesatuan UU No.12 tahun 1948 ini di berlakukan ke seluruh wilayah Indonesia dengan UU No.2 Tahun 1951. 


Undang-undang pokok kerja ini memuat aturan dasar mengenai :

  1. Pekerjaan anak 
  2. Pekerjaan orang muda 
  3. Pekerjaan wanita 
  4. Waktu kerja, istirahat, dan mengaso 
  5. Tempat kerja dan perumahan buruh, untuk semua pekerjaan tidak membeda - bedakan tempatnya, misalnya di bengkel, di pabrik, di rumah sakit, di perusahaan pertanian, perhubungan, pertambangan, dan lain-lain. 

Undang-undang No.12 Tahun 1948 merupakan undang-undang pokok sehingga memerlukan peraturan pelaksana yang lebih rinci. Mengingat keadaaan Indonesia yang masih di awal kemerdekaan, maka peraturan pelaksana dibuat secara bertahap. Peraturan pelaksana yang sempat dikeluarkan pada masa itu adalah :

Peraturan pemerintah No.3 Tahun 1950 yang memberlakukan aturan waktu kerja, istirahat, dan mengaso serta mengatur tata cara pengusaha untuk dapat mengadakan penyimpangan dari waktu kerja. 

Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 1954 yang mengatur tentang berlakunya ketentuan cuti tahunan bagi pekerja/buruh.   Berbeda dengan undang-undang pokok lainnya, undang-undang kerja mempunyai ketentuan bahwa semua ketentuan yang ada hanya akan berlaku jika ada peraturan pelaksananya. 


Sampai saat undang-undang kerja dicabut dan digantikan dengan Undng-undang No.13 Tahun 2003, peraturan pelaksana yang baru keluar hanya kedua peraturan tersebut. Maka hanya kedua aturan undang undang kerja itu yang sempat berlaku.




Sabtu, 14 Februari 2015

apa saja komposisi dalam tinta cetak offset

Apa saja komposisi dalam tinta cetak offset ?


Tinta cetak offset terdiri atas pigmen, vernis, juga additive berupa dryer dan beberapa bahan penolong lainnya.


1.Pigmen


Pigmen merupakan salah satu jenis bahan pewarna. Pigmen pun di bagi menjadi tiga jenis, yakni pigmen organik, pigmen anorganik dan carbon black. Mengapa pigmen di pilih sebagai bahan pewarna dalam tinta cetak offset ? Alasannya, karena pigmen lebih tahan terhadap air jadi tidak akan ikut larut saat terkena air.


Partikel – partikel pigmen akan lebih condong menginfiltrasi ke dalam serat – serat kertas sehingga ketika tinta mengering, partikel tersebut akan tersangkut di dalam serat – serat halus kertas tersebut.


Alasan kedua mengapa pigmen di pilih sebagai bahan pewarna adalah daya tahan pudarnya lebih lama ketimbang bahan pewarna berupa dye stuff. Pigmen biasanya akan mampu bertahan sampai beberapa tahun jika di jaga dari intensitas terpaan udara dan sinar matahari.


Sementara kelebihan tinta dye stuff ialah warnanya yang lebih cemerlang di banding dengan pigmen. Biasanya dye stuff di peruntukkan bagi industri tekstil, meskipun dye stuff ada yang di gunakan dalam bahan pewarna dalam industri cetak, kuantitasnya hanya sedikit.


Ukuran partikel – partikel penyusun pigmen memiliki ukuran yang tidak kecil, maka dari itu ukuran partikel pigmen wajib di dispersikan guna menyatukannya dengan resin dan vernis. Semakin besar kandungan pigmen di dalam sebuah tinta cetak, maka tingkat densitas ( kepekatan ) tinta tersebut pun akan besar pula.


Namun, jumlah pigmen yang ada di dalam sebuah komposisi tinta cetak juga mempunyai batas tertentu ( limit ) karena jika tidak di batasi akan mempengaruhi hasil cetakan bahkan merusaknya. Salah satu yang menerima indikasi dari pigmen yang berlebihan adalah tingkat viskositas ( kekentalan ) tinta cetak.


Berikut beberapa syarat bahan pewarna yang di gunakan dalam tinta cetak, yang penulis kutip dari buku ‘Ilmu Bahan Grafika I’ karya Muryeti,S.Si, dosen Ilmu Bahan Grafika :


  • Dapat di buat menjadi partikel yang halus
  • Mempunyai kekuatan warna yang tinggi dan jernih
  • Tidak abrasif
  • Berat jenis tidak terlalu tinggi
  • Tahan terhadap panas,cahaya,dan bahan kimia
  • Mudah untuk di dispresikan
  • Tidak larut dan mudah di basahi oleh cairan bahan pengikat secara merata
  • Tahan lama dan awet dalam penyimpanan



1.PIGMEN


a.Pigmen Organik


Pigmen ini bahan bakunya di ambil dari minyak bumi, batu bara dan bisa juga tanaman. Di dalam pigmen organik ini ada juga pigmen organik yang sintetis dan tentu saja cara memproduksinya menggunakan proses kimiawi di mana unsur dasarnya biasanya terdiri atas hidrogen dan karbon. Dan pigmen organik ini akan mengandung senyawa berupa oksigen, belerang dan nitrogen.


Biasanya, pigmen organik ini memiliki bentuk berupa bubuk halus serta memiliki partikel yang lebih halus pula dan dengan sifat tersebut pigmen jenis ini akan lebih mudah untuk di dispersikan. Kelebihan pigmen jenis ini ialah, tidak memiliki sifat abrasif, memiliki daya alir yang baik dan yang terpenting pigmen organik mempunyai sifat yang lebih stabil.


Namun kekurangannya adalah, pigmen organik tidak terlalu tahan terhadap bahan kimia, temperatur yang tinggi, serta cahaya. Contoh dari pigmen organik : hansa yellow, phthalocyanine blue.


b.Carbon Black


Pigmen yang satu ini di dapat dari hasil pembakaran gas alam maupun minyak. Dan biasanya hasil pembakaran ini di kenal dengan istilah Thermal Black.


Tujuan produksi carbon black ini adalah untuk mengantisipasi kekurangan yang terdapat pada sifat warna proses, yang mana pada pencampuran ketiga warna proses Cyan, Magenta dan Yellow tidak menghasilkan warna hitam.


c.Pigmen Anorganik


Terbentuk dari mineral – mineral ataupun bahan galian lainnya. Pigmen anorganik juga bisa di dapat dengan proses kimiawi yang di lakukan di pabrik – pabrik.


Kelebihan dari pigmen anorganik adalah mampu bertahan terhadap bahan kimia, cahaya, maupun panas. Tinta yang di hasilkan dari pigmen ini pun akan memiliki sifat reologi yang cukup baik.


Akan tetapi, pigmen ini memilki sifat abrasif, agak sukar pula untuk di dispersikan karena memiliki bentuk yang keras dan kasar. Variasi warna yang di hasilkannya pun akan terbatas serta intensitas warna yang di hasilakn juga tidak terlalu cerah, sehingga kekuatan warna dari pigmen ini berpotensi berkurang.


Contoh pigmen anorganik : Chrome Green ( Cr203), Prussian Blue ( Fe4[Fe(CN)6]3)


2.BAHAN PENGIKAT (VERNIS)


Fungsi dari bahan pengikat di sini adalah guna mengikat partikel – partikel pigmen hingga menjadi pasta. Istilah lain dari vernis ialah vehicle. Selain itu vernis di gunakan untuk mengikat antar molekul bahan pewarna sehingga lebih mudah untuk di dispersikan dan berperan sebagai bahan pengikat yang membawa bahan pewarna dari bak tinta sampai ke permukaan bahan cetak dan memastikannya mengalir dengan baik.


Vernis di pecah menjadi dua kelompok, yakni :


Oil based ink : vernis yang di gunakan dalam tinta yang bertekstur kental, yang komposisinya terdiri dari resin dan minyak. Vernis jenis ini yang di gunakan dalam tinta cetak offset.

Liquid Ink : kebalikan dari vernis ‘oil based ink’ , vernis jenis ini di pakai dalam tinta yang encer,yang terdiri dari resin dan solvent.Biasanya vernis ini di gunakan dalam tinta cetak rotogravure.


A.Resin


Beberapa kali di sebutkan tentang resin namun apakah resin itu sendiri?


Resin memiliki sifat yang sama dengan lem karena resin di tuntut akan mampu mengikat partikel – partikel pigmen. Resin terbuat dari getah damar yang alami maupun getah yang besifat sintetis.


Resin juga di gunakan untuk meningkatkan tingkat fleksibilitas tinta, mereparasi sifat kilap tinta ( gloss ) dan menambah kemampuan daya lekat tinta ke permukaan bahan cetakan. Resin di dalam pembuatan tinta cetak tidak memiliki aroma/bau tertentu, resin juga mudah untuk di larutkan oleh minyak/pelarut, dapat di dispersikan dengan berbagai bahan pewarna ( pigmen ) serta memiliki tingkat fleksibilitas yang cukup tinggi.


Jenis – jenis resin yang kerap di gunakan dalam tinta cetak ialah, CMC ( Carboxymethyl Cellulose ), CMHEC ( Carboxymethyl Hydroxyethyl Cellulose ), EHEC ( Ethyl Hydroxyethyl Cellulose ).


B.Minyak


Fungsi dari minyak dalam komposisi bahan vernis ialah guna membasahi bahan pewarna sehingga mudah di ubah ukuran partikelnya & di gunakan untuk melarutkan si resin itu sendiri. Terdapat dua jenis minyak yang di pakai dalam pembuatan tinta cetak :


Drying Oil ( minyak pengering ), minyak di sini di gunakan khusus dalam system pengeringan tinta cetak dengan jalur polimerisasi oksidasi yang di gunakan dalam tinta cetak offset.


Drying oil bahannya berasal dari minyak tumbuhan, contohnya : soya oil & linseed oil.


2. Non Drying Oil ( minyak tidak mengering ).


Minyak yang satu ini di gunakan dalam pengeringan tinta cetak yang menggunakan system absorpsi maupun penguapan, seperti halnya dalam pengeringan tinta cetak koran. Contohnya : minyak mineral dalam rupa kerosin, paraffin, dan olefin.


C.Pelarut ( Solvent )


Pelarut yang di gunakan dalam tinta cetak adalah jenis pelarut yang tidak sulit untuk menguap dan juga terbakar. Pelarut di sini berguna untuk membasahi molekul – molekul bahan pewarna ( pigmen ) sehingga mudah untuk di dispersikan ( di ubah ukuran partikelnya ) serta untuk melarutkan bahan pewarna, resin dan juga beberapa bahan penolong. Selain itu pelarut juga memiliki fungsi untuk mengatur kekentalan tinta,dan tentu saja untuk membantu proses pengeringan tinta.


Syarat – syarat yang harus di miliki oleh si bahan pelarut di antaranya ialah, mudah untuk menguap, tidak beracun, mempunyai daya larut yang baik dan mampu membasahi molekul bahan pewarna.


Berdasarkan sifatnya solvent ini kembali di bagi menjadi dua kelompok, yaitu solvent yang bersifat polar maupun yang non-polar. Masing – masing dari sifat tersebut akan melarutkan senyawa yang sama sifatnya dengan sifat solvent itu sendiri, missal solvent polar akan melarutkan senyawa yang polar. Pelarut polar contohnya alkohol, eter dan keton akan di gunakan untuk melarutkan resin yang juga bersifat polar contohnya : shellac & alkyd.


Sedangkan untuk solvent yang non-polar contohnya hidrokarbon akan melarutkan pula senyawa non-polar, yaitu phenolic dan maleics.


3.BAHAN PENOLONG ( ADDITIVE )


Sesuai dengan namanya,bahan penolong atau biasa di kenal dengan bahan additive adalah bahan – bahan tambahan ( penunjang ) dalam sebuah produksi / komposisi tinta cetak, karena bahan – bahan dasar yang telah penulis sebutkan sebelumnya tidak selalu menghasilkan tinta cetak sesuai dengan yang di butuh dan inginkan. Maka dengan bahan penolong ini kita akan mampu mendapatkan sifat – sifat tinta cetak yang pastinya lebih baik lagi ,menyesuaikan dengan kebutuhan cetak itu sendiri.


Bahan penolong ini berupa zat – zat kimia yang di tambahkan untuk menyempurnakan sebuah kualitas tinta cetak yang pada nantinya akan mampu di pergunakan sesuai dengan situasi dan kondisi pencetakan dan juga mampu menghasilkan sebuah produk cetak yang memiliki kualitas yang bisa di bilang tidak rendah.


Tujuan utama pemberian bahan penolong adalah untuk memperbaiki sifat – sifat tinta cetak serta untuk menyempurnakan pengikatan antara bahan pewarna dengan bahan pengikat dalam proses pendispresian.


Berikut beberapa jenis bahan penolong yang kerap di gunakan dalam pembuatan tinta cetak :


Bahan Pengering


Sesuai dengan namanya bahan pengering berfungsi untuk mempercepat proses pengeringan tinta cetak atau membantu tinta cetak agar semakin cepat teroksidasi dan selanjutnya akan terjadi proses polimerisasi sehingga lapisan tinta akan mengeras dan menempel dengan kuat pada permukaan bahan cetakan. Bahan pengering yang biasa di gunakan adalah garam – garam logam seperti, kobalt, mangan, besi dan beberapa jenis pengering lainnya. Yang mesti menjadi perhatian di dalam pengunaan bahan pengering ialah pencampuran dari beberapa jenis garam logam akan memiliki nilai keefektifan yang lebih tinggi di banding dngan hanya menggunakan satu jenis drier saja.


Plastizier


Plastizier pada dasarnya di gunakan untuk meningkatkan tingkat keelastisan tinta. Selain itu juga terdapat beberapa fungsi lainnya yakni, untuk membuat tinta cetak semakin fleksibel, serta memberikan kerataan pada permukaan lapisan tinta cetak yang telah mengering. Dan untuk meminimalisir pengapuran lapisan tinta di permukaan bahan cetak. Yang terakhir fungsi dari plastizier ini untuk menamabah daya rekat tinta cetak. Contohnya : sulfonamide, adipat, fosfat.


Anti Set-Off


Anti set – off di gunakan untuk mengurangi terjadinya set-off pada waktu pencetakan. Anti set – off ini terbentuk dari senyawa magnesia untuk mencegah terjadinya sebuah set-off. Atau alternatif lain adalah penggunaan tepung Kanji guna mengurangi kontak antara lembaran cetak yang satu dengan yang lainnya. Penggunaan anti set – off ini bisa dengan cara di semprotkan maupun dengan cara di taburi ke hasil cetakan.


Bahan Pelarut ( Reducer )


Bahan pelarut sangat berpengaruh kepada tingkat stabilitas sebuah tinta cetak di mesin cetak, keseimbangan dengan air pembasah, kekentalan tinta serta kecepatan pengeringan tinta cetak di atas permukaan bahan cetak.


Reducer biasanya tebentuk dari mineral detilasi oil yang mana titik didihnya mencapai 300 – 380°C.


Pada umumnya pabrik yang memproduksi tinta cetak sudah menyertakan bahan – bahan penolong ( additive ) ke dalam komposisi sebuah tinta cetak namun sudah menjadi hal yang mutlak apabila di perlukan, sejumlah bahan additive tidak menutup kemungkinan akan di lakukan penambahan guna mendapatkan hasil cetak semaksimal mungkin.


Minggu, 08 Februari 2015

Kesehatan kerja dan produktivitas

KESELAMATAN KERJA & PRODUKTIVITAS
By: dr. H. M. Sulaksmono. MS. MPH. SpOk. Bag. Hiperkes -Keselamatan Kerja FKM UNAIR



A    PENGERTIAN KESEHATAN KERJA

MENURUT ILO DAN WHO KESEHATAN KERJA ADALAH ASPEK / UNSUR KESEHATAN YANG ERAT BERTALIAN DENGAN LINGKUNGAN KERJA DAN PEKERJAAN YANG SECARA LANGSUNG / TAK LANGSUNG DAPAT MEMPENGARUHI KESEHATAN TENAGA KERJA

B    KESEHATAN KERJA bertujuan untuk:

  1. Melaksanakan promosi dan memelihara kesehatan fisik, mental dan sosial semua pekerja yang setinggi-tingginya
  2. Mencegah pekerja dari gangguan kesehatan akibat kondisi kerja
  3. Melindungi pekerja terhadap semua faktor resiko bahaya kesehatan
  4. Menempatkan dan memelihara pekerja dalam lingkungan kerja yang sesuai dengan kemampuan fisiologik dan psikologiknya yang secara singkat dapat dikatakan penyesuaian pekerjaan terhadap manusia dan setiap manusia dengan pekerjaannya
C    Fokus utama kesehatan kerja bertujuan untuk :
  1. pemeliharaan dan promosi kesehatan pekerja dan kapasitas kerja
  2. perbaikan lingkungan kerja dan pekerjaan yang menjamin keselamatan dan kesehatan
  3. pembentukan organisasi dan budaya kerja, yang menciptakan suasana sosial yang positif, yang melancarkan pekerjaan dan yang meningkatkan produktivitas perusahaan.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN DAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA

  1. BEBAN KERJA
  2. BEBAN TAMBAHAN DARI LINGKUNGAN KERJA
  3. KAPASITAS KERJA

UNTUK MENDAPATKAN DERAJAT KESEHATAN TENAGA KERJA YANG OPTIMAL DAN PRODUKTIVITAS KERJA YANG TINGGI, MAKA KETIGA FAKTOR ITU HENDAKLAH DALAM KESEIMBANGAN YANG SERASI

1. BEBAN KERJA
SETIAP PEKERJAAN MERUPAKAN BEBAN BAGI PELAKUNYA. BEBAN KERJA TERSEBUT DIBAGI MENJADI :

  • BEBAN FISIK ->MENGANGKAT, MEMIKUL, DLL
  • BEBAN MENTAL ->PADA MANAJER, PENGUSAHA
  • BEBAN SOSIAL ->PADA PEKERJA SOSIAL
ENVIRONMENTAL FACTORS –STRESSES

  1. CHEMICAL HAZARD
  2. PHYSICAL HAZARD
  3. BIOLOGICAL HAZARD
  4. ERGONOMIC HAZARD
  5. PSYCHOSOCIAL
2. BEBAN TAMBAHAN DARI LINGKUNGAN KERJA
SECARA GARIS BESAR FAKTOR DAN LINGKUNGAN KERJA YANG DAPAT MENGGANGGU KESEHATAN TENAGA KERJA ADALAH:

¶FAKTOR FISIK BERUPA :

  1. SUARA / KEBISINGAN
  2. SUHU / IKLIM : SUHU PANAS, SUHU DINGIN
  3. RADIASI : MENG-ION, TIDAK MENG-ION
  4. TEKANAN UDARA
  5. PENERANGAN
  6. GETARAN
¶FAKTOR KIMIA BERUPA :

  1. GAS DAN UAP
  2. PARTICULATE / AEROSOL : DEBU, KABUT, FUME, AWAN, ASAP
  3. CAIRAN / PELARUT
¶FAKTOR BIOLOGIK BERUPA VIRUS, BAKTERI, JAMUR, SERANGGA, CACING, PARASIT, BINATANG BUAS, TUMBUHAN BERACUN, DLL.

¶FAKTOR FISIOLOGIK (ERGONOMIK) YAITU FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESERASIAN ANTARA TENAGA DAN PEKERJAANNYA (CARA KERJA, POSISI KERJA, ALAT KERJA, BEBAN KERJA) KETIDAKSERASIAN DARI FAKTOR DI ATAS DAPAT MENIMBULKAN KECELAKAAN KERJA SAKIT OTOT, SAKIT PINGGANG, CEDERA PUNGGUNG, DLL.

¶FAKTOR MENTAL PSIKOLOGI DAPAT BERUPA HUBUNGAN KERJA YANG KURANG BAIK. SIFAT PEKERJAAN YANG MONOTON, TIDAK SESUAI BAKAT, KESEJAHTERAAN YANG KURANG, DLL. FAKTOR INI SELAIN MENURUNKAN PRODUKTIVITAS, JUGA DAPAT MENIMBULKAN PENYAKIT-PENYAKIT PSIKOSOMATIK.

3. KAPASITAS KERJA
  1. KETRAMPILAN
  2. KESEGARAN JASMANI DAN ROHANI
  3. KEADAAN KESEHATAN
  4. TINGKAT GIZI
  5. JENIS KELAMIN
  6. UMUR
  7. UKURAN-UKURAN TUBUH (ANTHROPOMETRI)
USAHA – USAHA PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT AKIBAT KERJA

  1. OPTIMALISASI BEBAN KERJA
  2. MENGHILANGKAN ATAU MENGURANGI BEBAN TAMBAHAN DARI LINGKUNGAN KERJA
  3. MENINGKATKAN KAPASITAS KERJA

1. OPTIMALISASI BEBAN KERJA
PROGRAM KESEHATAN KERJA YANG DIPERLUKAN DALAM OPTIMALISASI BEBAN KERJA INI ADALAH :

  1. PEMERIKSAAN KESEHATAN
  2. PSIKOLOGI KERJA
  3. ERGONOMI


MACAM PEMERIKSAAN KESEHATAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA & TRANSMIGRASI No.PER.02/MEN/1980

  1. PEMERIKSAAN KESEHATAN SEBELUM KERJA                                                               = PRE PLACEMENT HEALTH  EXAMINATION                                               = PRE EMPLOYMENT HEALTH EXAMINATION
  2. PEMERIKSAAN KESEHATAN BERKALA     = PERIODIK HEALTH EXAMINATION         = ANNUAL HEALTH EXAMINATION
  3. PEMERIKSAAN KESEHATAN KHUSUS      = SPECIAL HEALTH EXAMINATION
2. ELIMINASI ATAU MENGURANGI BEBAN TAMBAHAN DARI LINGKUNGAN KERJA


1. IDENTIFIKASI DAN EVALUASI FAKTOR BAHAYA

IDENTIFIKASI MERUPAKAN LANGKAH PERTAMA DALAM PENGENDALIAN SETIAP FAKTOR BAHAYA. IDENTIFIKASI FAKTOR BAHAYA DAPAT DILAKUKAN DENGAN CARA MENGETAHUI :

  • BAHAN YANG DIGUNAKAN, DIHASILKAN, HASIL ANTARA, DAN LAIN-LAIN.
  • PROSES KERJA ; ALAT TEKNOLOGI YANG DIGUNAKAN.
  • USAHA PENGENDALIAN TEKNIS

TUJUANNYA ADALAH MENGHILANGKAN ATAU MENURUNKAN TINGKAT PEMAPARAN TENAGA KERJA SAMPAI TINGKAT YANG AMAN. SECARA SISTEMATIS USAHA PENGENDALIAN TEKNIS TERDIRI DARI:  

A. ELIMINASI FAKTOR BAHAYA SEPERTI :

  • ASBES BIRU [CROCIDOLITE] DILARANG DIGUNAKAN DI SELURUH DUNIA SEJAK 1986
  • ARSEN ->DARI PESTISIDA
B. SUBSTITUSI: MENGGANTI DGN BAHAN YANG TIDAK ATAU KURANG BERBAHAYA SEPERTI :

  • RODA GERINDA YANG TERBUAT DARI BATU PASIR DIGANTI DENGAN SILIKON KARBIDA ATAU BORON NITRIDA
  • PADA ABRASIVE BLASTING, BATU PASIR DIGANTI DENGAN STEEL SHOT ATAU ALUMINA
  • BENZENA DIGANTI DENGAN TOLUENE
C. PERUBAHAN PROSES UNTUK MENCEGAH TIMBULNYA FAKTOR BAHAYA DI LINGKUNGAN KERJA,SEPERTI:

  • GAS DAN UAP DI PROSES DENGAN SISTEM TERTUTUP
  • SUPRESI PEMBENTUKAN DEBU DENGAN CARA BASAH : DENGAN MENYEMPROTKAN ATAU MENGALIRKAN AIR PADA TEMPAT PEMBENTUKAN DEBU 
D. ISOLASI SUMBER BAHAYA
E. VENTILASI
F. PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI
G. KEBERSIHAN DAN PEMELIHARAAN TEMPAT KERJA
H. HYGIENE PERORANGAN

3. MENINGKATKAN KAPASITAS KERJA

  • MENINGKATKAN KETRAMPILAN KERJA, DENGAN CARA PENDIDIKAN DAN LATIHAN
  • MENINGKATKAN DERAJAT KESEHATAN TENAGA KERJA
  • MENINGKATKAN GIZI TENAGA KERJA
  • PROMOSI KESEHATAN TENAGA KERJA SEPERTI GERAKAN HIDUP SEHAT, YANG MENCAKUP : KESEGARAN JASMANI, PROGRAM BERHENTI MEROKOK, MANAJEMEN STRESS DLL
  • PENERAPAN ERGONOMI
  • MENINGKATKAN MOTIVASI DAN DEDIKASI TENAGA KERJA

Kamis, 05 Februari 2015

mengenal tinta UV

Mengenal tinta UV




Tinta UV adalah jenis tinta cetak yang pengeringannya menggunakan sinar UV. Tinta UV dapat diaplikasikan pada jenis cetakan offset, flexo, screen dan inkjet. Sedangkan untuk gravure juga pernah dengar tapi sepertinya perkembangannya tidak terlalu mendesak untuk saat ini. Kemungkinan penyebabnya adalah bahwa tinta gravure saat ini sudah memiliki karakteristik yang sama dengan tinta UV, misalnya bisa dicetak diatas substrat yang susah kering (plastik dan aluminium foil), density warna yang lebih tinggi.


Keunggulan dari tinta UV antara lain adalah :

  1. Mempunyai physical dan chemical resistance yang tinggi. Karena vehicle-nya adalah berupa polymer yang cukup kuat. Karena dalam proses pengeringannya tidak ada penguapan, 100% mengandalkan reaksi polymerisasi, maka tidak menghasilkan VOC (Volatile Organic Compund) yang berbahaya.
  2. Tinta UV bisa menghasilkan warna cetakan dengan density yang lebih tinggi, sehingga bisa mengghasilkan range warna yang lebih luas. Karena pengeringan hanya terjadi jika terkena cahaya UV, maka handling pada mesin cetak (plate dan rol anilox) akan lebih mudah. Jarang terjadi pengeringan yang merepotkan. Tinta tidak mengering dalam kemasannya.
  3. Gloss yang lebih tinggi dari tinta/coating konvensional. Proses pengeringannya 100% reaksi polimerisasi, tidak perlu penyerapan oleh kertas, maka tinta mudah dicetak pada permukaan yang sulit menyerap tinta misalnya plastik dan aluminium foil.


Tapi kekurangan dari tinta UV adalah sebagai berikut :

  1. Dalam bentuk tinta, dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan komposisi tinta UV.
  2. Harga tinta yang lebih mahal. Karena density warna yang lebih tinggi maka dengan penggunaan yang lebih tipis dapat menghasilkan warna yang sama dengan tinta konvensional.


Komposisi tinta UV


Seperti tinta pada umumnya komposisi tinta, tinta UV terdiri dari vehicle, pigment, additive dan khusus untuk tinta UV ditambah dengan photoinisiator. Dalam hal ini yang perlu dibahas adalah vehicle dan photoinisiator.


1    Vehicle

Vehicle adalah bahan yang berfungsi untuk mengikat pigment pada permukaan cetakan. Untuk tinta UV sebagai vehicle digunakan oligomer dan monomer.

Oligomer merupakan suatu golongan senyawa kimia yang meyerupai resin pada tinta konvensional. Karena berat molekulnya yang lebih besar dan tingkat reaktif yang lebih rendah, tingkat bahaya oligomer lebih rendah bila dibandingkan dengan monomer. Hanya saja yang mungkin mengkhawatirkan adalah senyawa-senyawa kimia yang dipergunakan untuk membuat oligomer tersebut (sama seperti proses pembuatan melamin yang menggunakan formalin). Salah satu contoh senyawa yang mungkin tersisa pada oligomer adalah isocyanate. Isocyanate dalam jumlah kecil mempunyai efek racun yang perlu dipertimbangkan.

Monomer adalah senyawa yang mempunyai berat molekul yang lebih rendah. Karena sifat reaktifnya yang lebih tinggi banyak senyawa monomer yang digolongkan sebagai berbahaya (dapat menyebabkan iritasi pada kulit), bahkan ada beberapa senyawa monomer yang digolongkan sebagai carcinogenic (zat penyebab kanker) dan karena berat molekulnya yang rendah beberapa senyawa monomer dapat meresap melalui pori-pori pada kulit. Kebanyakan monomer yang digunakan merupakan golongan acrylate dan methacrylate.


Didalam monomer dan oligomer biasanya juga ditambahkan inhibitor polymerisasi seperti hydroquinone dan methyl ether hydroquinone.
Perbedaan fungsi oligomer dan monomer adalah viscosity. Biasanya oligomer (viscosity lebih tinggi) adalah material utama, sedangkan monomer adalah material yang ditambahkan untuk mendapatkan viscosity yang diinginkan.

Monomer dan oligomer inilah yang akan berpolimerisasi setelah photoinisiator bereaksi karena terkena cahaya UV.


2    Photoinisiator

Photoinisiator pada tinta UV berfungsi untuk memulai reaksi polymerisasi ketika terkena sinar UV. Secara umum photoinisiator pada tinta UV dibagi atas 2 yaitu :


¶    Radikal bebas
Ini merupakan jenis photoinisiator yang paling banyak digunakan. Jenis photoinisiator ini bereaksi ketika terkena sinar UV dengan menghasilkan radikal bebas yang akan memicu reaksi polymerisasi dari monomer dan oligomer pada bahan tinta.


¶    Kationik
Dengan sistem kationik, reaksi polymerisasi terjadi pada saat terekspose dengan sinar UV dan reaksi akan terus berlanjut hingga semua bahan tereaksi. Tinta UV dengan sistem kationik mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan sistem radikal bebas. Daya rekat yang lebih kuat menyebabkan tinta dapat lebih melekat pada beberapa substrat yang lebih ‘sulit’ misalnya PP dan PA. Aroma pada cetakan juga berkurang.
Kelemahan dari sistem kationik adalah komponen epoxy kurang reaktif bila dibandingkan dengan sistem acrylate. Akibatnya kecepatan mesin harus dikurangi. Kelemahan yang lain adalah dapat menghasilkan senyawa benzene. Photoinisiator sistem kationik berupa garam-garam sulfonium dapat menghasilkan sejumlah kecil benzene ketika diekspose dengan sinar UV.


Handling Tinta UV

Karena susunan kimia tinta UV yang berbeda dari tinta konvensional, maka penanganannya juga harus berbeda. Hal ini terutama harus ditekankan pada yang biasa menangani tinta konvensional. Kontak langsung dengan tinta UV harus dikurangi. Dibandingkan dengan tinta konvensional, bahan baku tinta UV mempunyai tingkat toxic yang lebih tinggi. Bahan-bahan ini digolongkan dapat menyebabkan iritasi pada mata dan kulit.

Oleh sebab itu semua personil yang mempunyai kemungkinan kontak dengan tinta UV sebaiknya mempunyai perlindungan yang memadai, minimal pakaian dan sarung tangan. Sebaiknya jika memungkinkan juga kacamata (goggles).

Masalah kebersihan juga perlu diperhatikan. Karena tinta UV tidak bisa mengering, jika ada bagian tubuh atau pakaian/sepatu yang terkontaminasi, maka tinta itu bisa menempel ke mana saja kita bergerak. Demikian juga tinta yang menempel tersebut akan pindah ke tubuh/pakaian orang lain dan menyebar kemana-mana.

Karena vapor presure yang rendah dan titik nyala yang tinggi (>1000C), maka tinta UV tidak mudah terbakar. Tapi ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan tinta UV. Ada kemungkinan bisa terjadi uncontrolled polymerization, yang mungkin disebabkan oleh panas, sinar UV ataupun kontaminasi bahan yang memulai reaksi polimerisasi. Jika terjadi polymerisasi dalam suatu ruang tertutup (misalnya pail & drum untuk kemasan tinta) bisa berbahaya. Hal ini dikarenakan reaksi polymerisasi akan menghasilkan panas dan menambah volume bahan. Jika terlalu besar, kemungkinan bisa terjadi ledakan atau semburan.

Oleh sebab itu cara penyimpanan tinta UV yang terbaik adalah pada ruangan yang tertutup/gelap dan ber-AC.


Selasa, 20 Januari 2015

Sanksi kepada perusahaan apabila melanggar ketentuan membayar upah pekerjanya

Sanksi kepada perusahaan apabila melanggar ketentuan membayar upah



HAK atas upah adalah hak normatif pekerja dan dilindungi undang-undang. Bila pekerja tidak melakukan tugas maka upahnya tidak dibayar. Demikian sebaliknya, bila pengusaha tidak membayar atau terlambat membayar upah pekerja yang sudah melakukan tugas maka pengusaha tersebut dikenakan denda dan sanksi.

Walaupun pengusaha tersebut dikenakan sanksi pidana berupa penjara, kurungan tetapi kewajiban untuk membayar denda keterlambatan maupun ganti rugi tetap harus dilaksanakan.

Berikut ini berupa pasal dalam UUK No. 13 Tahun 2003 yang mengatur tentang sanksi-sanksi atas pelanggaran yang berkaitan dengan upah :


  1. Bila pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang ditentukan (sesuai ketentuan pasal 90 ayat I), sanksinya (pasal 185) yaitu pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 400 juta.
  2. Bila pengusaha tidak membayar upah pekerja/buruh yang tidak melakukan tugas karena alasan-alasan pada pasal 93 yang seharusnya pengusaha wajib membayarnya, sanksinya (pasal 186) yaitu pidana paling singkat 1 bulan dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10 juta paling banyak Rp. 400 juta.
  3. Bila pengusaha tidak membayar upah pekerja untuk kerja lembur sesuai ketentuan pasal 78 maka sanksinya (pasal 187) yaitu pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 10 juta dan paling banyak Rp. 100 juta.
  4. Bagi pengusaha yang tidak membayar upah pesangon pekerja karena mencapai usia pensiun sesuai ketentuan pasal 167 ayat 5 maka sanksinya adalah (pasal 184) pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100 juta,- dan paling banyak Rp. 500 juta,-.
  5. Bagi pengusaha yang tidak membayar upah pekerja yaitu upah lembur sesuai ketentuan pasal 78 ayat 2 dan upah kerja lembur pada hari libur resmi sesuai ketentuan pasal 85 ayat 3 maka sanksinya (pasal 187) yaitu pidana penjara paling singkat 1 bulan dan paling lama 1 tahun dan /atau denda paling sedikit Rp. 10 juta,- dan paling banyak Rp. 100 juta,-.
  6. Bagi pengusaha yang tidak membayar upah pekerja yang mengambil istirahat karena cuti sesuai ketentuan pasal 78 ayat 1 maka sanksinya mengikuti ketentuan pasal 187 yaitu pidana penjara paling singkat 1 bulan dan paling lama 1 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10 juta,- dan paling banyak Rp. 100 juta,-.
  7. Bagi pengusaha yang tidak membayar upah pekerja karena cuti melahirkan dan cuti keguguran sesuai ketentuan pasal 82 ayat 1 dan ayat 2 maka sanksinya mengikuti ketentuan pasal 185 yaitu pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100 juta,- dan paling banyak Rp. 400 juta,-



Senin, 19 Januari 2015

sebelum kena sanksi disiplin di perusahaan kenali dulu macam macam sanksinya

Mengenal sanksi disiplin surat peringatan/ sp, denda dan demosi



Beberapa macam/jenis hukuman disiplin dapat diberikan kepada karyawan/pekerja sekaligus untuk suatu kasus pelanggaran tertentu hanya apabila telah diatur dalam perjanjian kerja (“PK”), peraturan perusahaan (“PP”) atau perjanjian kerja bersama (“PKB”).  


Hal ini secara tersirat diatur dalam Pasal 161 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”):


(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.

(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.


Menurut penjelasan Pasal 161 ayat (2) UUK masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara tidak berurutan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PK atau PP atau PKB.


Bagi pekerja yang melakukan pelanggaran sehingga mengakibatkan kerugian bagi perusahaan dapat juga dikenakan denda (dalam prakteknya dilakukan dalam bentuk pemotongan upah). Hal ini merujuk pada Pasal 95 ayat (1) UUK:


Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.


Namun, pengenaan denda terhadap pekerja yang melakukan pelanggaran juga wajib memperhatikan ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) PP No 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (“PP 8/1981”) yakni denda atas pelanggaran sesuatu hal hanya dapat dilakukan apabila hal itu diatur secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan (PK atau PP atau PKB).


Lebih jauh dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 20 ayat (4) PP 8/1981 bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran dalam hal ini adalah pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban buruh yang telah ditetapkan dalam perjanjian tertulis antara pengusaha dan buruh.


Mengenai demosi (penurunan jabatan) tidak diberikan pengaturannya dalam UUK maupun peraturan perundang-undangan lain terkait dengan ketenagakerjaan. Dengan demikian, pengaturan mengenai demosi ini dapat diatur sendiri di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Sehingga hal-hal yang terkait dengan pengenaan disiplin terhadap pekerja yang melakukan pelanggaran dan merugikan perusahaan sebenarnya lebih diserahkan kepada pihak pengusaha dan pekerja untuk disepakati bersama dalam bentuk PK atau PP atau PKB.